Jumat, 09 April 2010

ULOS BATAK

Bagi kalangan masyarakat Batak, kita sering mendengar ada kegiatan “mangulosi”. Dalam kepercayaan mereka (masyarakat Batak), jika (tondi) juga diulos, maka lelaki yang berjiwa keras akan memiliki sifat kejantanan dan hero. Sedangkan wanita akan mempunyai sifat ketahanan, untuk melawan guna-guna atau kemandulan.

Ada ungkapan, “Ijuk pangihot ni hodong. Ulos pangkait ni holong,” Begitulah ungkapan yang berisi filsafat Batak untuk ulos. Berarti ulos adalah pengikat kasih sayang sesama manusia, secara simbolis.

Ulos, kain tenun khas Batak, dipakai mulai dari adat kelahiran, perkawinan, hingga kematian. Kini, ulos kain yang dipintal dari benang ini sudah sering diuloskan pada acara seremonial, atau sebagai cinderamata kepada para tamu terhormat yang datang ke Tano Batak. Ulos memang dijadikan simbol ikatan kasih sayang antara sesama orang Batak maupun kepada orang yang non Batak.

Fungsi dan Ragam Ulos

Fungsi ulos sebenarnya dipakai untuk menghangatkan tubuh. Bagi masyarakat Batak, ulos dianggap sebagai sumber kehangatan, selain matahari dan api. Setiap ulos memiliki sifat, fungsi, hubungan dan keadaan. Artinya setiap ulos mempunyai sifat dan fungsi tersendiri.

Untuk itu ulos mempunyai ragam tersendiri. Ada tiga ragam ulos tertinggi bagi masyarakat Batak. Pertama ulos regidup, kedua ulos ragihotang, ketiga ulos sibolang. Ketiga ulos ini memiliki fungsi yang berbeda, yakni pertama ulos Ragidup.

Ulos ini paling tinggi drajatnya. Dalam pembuatannya sangat sulit. Ulos Ragidup terdiri dari tiga bagian. Dua sisinya ditenun secara bersamaan, sedangkan di bagian tengahnya ditenun secara terpisah. Pengerjaan bagian inilah yang sangat sulit.

Bayangkan pada bagian tengah ada tiga lagi bagian. Bagian badan dan duanya lagi sebagai pinarhalak hana atau pigura laki-laki dan pinarhalak boru-boru atau pigura wanita.

Pada tiap kedua pigura terdapat lagi beragam lukisan. Dengan warna, corak yang hidup serta melambangkan kehidupan. Dalam adat perkawinan, ulos ini diberikan orang tua pengantin perempuan kepada ibu dari pengantin laki-laki. Tujuannya untuk mendoakan agar besannya itu dapat hidup rukun bersama anak perempuannya.

Kedua, ulos Ragihotang. Ulos ini drajatnya juga tinggi, tetapi dalam pengerjaan pembuatan tidak sesulit ulos Ragidup. Hotang artinya rotan. Ulos ragihotang diulosi kepada mereka yang diharapkan dapat berubah menjadi baik. Ulos ini juga dipakai sebagai pembungkus jenazah dan membungkus tulang belulang, dalam proses penguburan kedua kalinya si jenazah.

Ketiga, ulos Sibolang. Ulos ini memiliki drajat yang tinggi. Diberikan kepada mereka yang berjasa mabulangbulangi (menghormati) pengantin orangtua pengantin wanita yang mengulosi ayah pengantin lelaki. Ulos ini juga diberikan kepada kepada wanita yang ditinggal mati suaminya sebagai penghormatan atas jasanya kepada suami semasa hidupnya.

Ulos dengan motif bergaris-garis yang menggambarkan burung atau bintang bersusun biasanya digunakan juga untuk upacara adat penyambutan kelahiran anak pertama.

Ulos mempunyai ukuran yang dapat dibedakan seperti ulos nametmet, ukuran panjang dan lebarnya jauh lebih kecil, tidak digunakan pada upacara adat, melainkan untuk dipakai sehari-hari. Golongan ulos ini diantaranya ulos sirampat, ragihotang, namarpisaran dan sebagainya.

Lantas ada ulos nabalga, ulos ini kelas tinggi dan tertinggi. Jenis ini pada umumnya digunakan ketika upacara adat, sebagai pakaian resmi atau sebagai ulos yang diserahkan atau diterima. Golongan ulos ini diantaranya sibolang, runjat jobit, ragidup.

Cara memakai ulos juga bermacam-macam tergantung kepada keadaan dan situasi. Ada yang memakai dibahu layaknya memakai selendang. Memakai seperti sarung, ada yang melilitkannya di kepala, ada juga yang mengikatkan pada pinggang.

Dikerjakan Generasi Muda

Tenunan ulos rata-rata dikerjakan para generasi muda di bonapasogit, contohnya seperti di desa Hutabarat kecamatan Tarutung, Kabupaten Tapanuli utara. Pada desa ini banyak para pengrajin ulos berusia muda. Tidak sulit untuk melihatnya, sebab mereka bekerja berjam-jam, berhari-hari.

Hana boru Hutabarat misalnya, wanita pendiam ini sudah belajar menenun sejak sekolah menengah pertama. Menurutnya bila menyelesaikan sehelai tenunan ulos maka dibayar dua ratus ribu rupiah oleh yang mereka sebut toke.

Menenun ulos sudah menjadi andalan mencari nafkah menghidupkan dapur mereka selain bertani. Kebanyakan yang menjadi penenun di sini para gadis berusia muda. Kini, mereka boleh lega karena dengan satu buah mesin tenun yang masih tradisional, mereka bisa memintal benang tenun menjadi empat helai ulos per bulan. Satu helai per minggu, ulos berukuran dua meter.

Pada teras depan rumah, Hana menenun siang hari. Malam hari di ruang dalam rumah yang juga dijadikan ruang istirahat keluarga, sambil menonton acara televisi. Pada ruangan itu dipenuhi dengan berkarung-karung padi simpanan keluarga.

“Semua dilakukan sendiri, mulai dari pencelupan warna benang, hingga menjadi kain. Tentang motif tergantung dari pemesanan,” kata boru Hutabarat itu.
Hana bercerita, benang pembuatan ulos dibagi tiga jenis yaitu benang sebagai badan ulos, benang sebagai corak ulos dan benang pengikat ulos (ipahan).

Benang-benang itu sebelum digunakan, terlebih dahulu dikanji untuk menghilangkan warna lunturnya. Setelah itu benang dikeringkan dengan cara penganginan.

Selanjutnya benang-benang berwarna itu digulung atau dikerek pada kayu berukuran sebesar pensil. Setelah benang tergulung dengan alat pembantu itu proses selanjutnya manghani (memintal benang menjadi ulos). Jumlah benang harus dihitung agar memudahkan pengrajin mengetahui benang yang dibutuhkan.

Setelah selesai tenunan, proses terakhir membuat rambu (bagian kaki ulos). Benang yang tersisa itu dipulos dan disirat. Motif warna pada rambu disesuaikan dengan motif ulos itu sendiri sebab rambu akan menambah nilai keindahan ulos. Kini di Tarutung sudah ada rumah gorga atau rumah seni untuk membina para perajin ulos dengan tujuan untuk terus dapat mempertahankan kualitas ulos Batak. Semoga rumah seni itu tetap eksis dan dapat mempertahankan ulos Batak sampai akhir zaman, karena ulos pengikat kasih sayang.

Jenis-jenis Ulos :
  1.  Ulos Antak-Antak, dipakai selendang orang tua melayat orang meninggal, dan dipakai sebagai kain dililit/hohop-hohop waktu acara manortor.
  2. Ulos Bintang Maratur, Ulos ini merupakan ulos paling banyak kegunaannya di dalam acara-acara. Diberikan kepada anak yang memasuki rumah baru oleh orang tua. Dalam adat Toba Ulos ini diberikan waktu selamatan Hamil 7 Bulan oleh orangtua. Lain halnya kalau di Tarutung Ulos ini yang diberikan waktu acara sukacita, Ulos ini juga diberikan kepada Pahompu yang baru lahir, parompa walaupun kebanyakan kasih mangiring apalagi yang maksudnya agar anak yang baru lahir diiringi anak selanjutnya. Ulos ini dipakai untuk pahompu yang dibabtis dan juga dipakai untuk sebagai selendang.
  3. Ulos Bolean, Ulos ini dipakai sebagai selendang pada acara-acara kedukaan.
  4. Ulos Mangiring, Ulos ini dipakai selendang, Tali-tali, juga Ulos ini diberikan kepada anak cucu baru lahir terutama anak pertama. Dimaksud sebagai simbol keinginan agar sianak diiringi anak yang seterusnya. Ulos ini dapat dipakai sebagai Parompa.
  5. Ulos Padang Ursa, dipakai sebagai Tali-tali dan Selendang.
  6. Ulos Pinan Lobu-Lobu, dipakai sebagai Selendang.
  7. Ulos Pinuncaan, Ulos ini sebenarnya terdiri dari lima bagian yang ditenun secara terpisah, kemudian disatukan dengan rapi hingga menjadi bentuk satu Ulos. Kegunaannya:Ulos ini dapat dipakai berbagai keperluan acara-acara dukacita atau sukacita. Dalam acara adat ulos ini dipakai/disandang oleh Raja-Raja Adat maupun oleh rakyat biasa selama memenuhi pedoman misalnya, pada pesta perkawinan atau upacara adat suhut sihabolonon/ Hasuhutonlah (“tuan rumah”) yang memakai ulos ini. Pada waktu pesta besar dalam acara marpaniaran, ulos ini juga dipakai/dililit sebagai kain/hohop-hohop oleh keluarga hasuhuton. Ulos ini sebagai Ulos Passamot pada acara Perkawinan.
  8. Ulos Ragi Hotang, Ulos ini biasa diberi kepada sepasang pengantin, disebut sebagai Ulos Hela.
  9. Ragi Huting, Ulos ini sekarang sudah Jarang dipakai. Konon jaman orang tua dulu sebelum merdeka, anak-anak perempuan pakai Ulos Ragi Huting ini sebagai pakaian sehari-hari, dililit didada (Hoba-hoba), kemudian dipakai orang tua sebagai selendang apabila bepergian.
  10. Ulos Sibolang Rasta Pamontari, Ulos ini dulu dipakai untuk keperluan duka dan sukacita. Sekarang sibolang bisa dikatakan symbol duka cita, dipakai juga sebagai Ulos Saput (yang meninggal orang dewasa yang belum punya cucu), dan dipakai sebagai Ulos Tujung (Janda/Duda yang belum punya cucu). Kemudian pada peristiwa dukacita Ulos ini paling banyak dipergunakan oleh keluarga dekat.
  11. Ulos Sibunga Umbasang dan Ulos Simpar, dipakai sebagai Selendang.
  12. Ulos Sitolu Tuho, Ulos ini dipakai sebagai ikat kepala atau selendang wanita.
  13. Ulos Suri-suri Ganjang, dipakai sebagai Hande-hande pada waktu margondang. Dipergunakan oleh pihak Hula-hula untuk manggabe i borunya karena itu disebut juga Ulos gabe-gabe.
  14. Ulos Ragi Harangan, pemakaiannya sama dengan Ragi Pakko.
  15. Ulos Simarinjam sisi, dipakai sebagai kain, juga dilengkapi dengan Ulos Pinuncaan disandang dengan perlengkapan adat Batak sebagai Panjoloani yangmemakai ini satu orang paling depan.
  16. Ulos Ragi Pakko, dipakai sebagai selimut pada jaman dahulu dan pengantar wanita yang dari keluarga kaya bawa dua ragi untuk selimut yang dipergunakan sehari-hari. Juga bila setelah tua, meninggal akan disaput pakai Ragi ditambah Ulos lainnya yang disebit Ragi Pakko. warnanya memang hitam seperti Pakko.
  17. Ulos Tumtuman, dipakai sebagai tali-tali yang bermotif dan dipakai anak yang pertama dari hasuhutan.
  18. Ulos Tutur-Tutur, dipakai sebagai tali-tali dan sebagai Hande-hande. Sering diberikan oleh orang tua sebagai Parompa kepada cucunya.
Dari jenis dan fungsi Ulos ini, disebut pengenalan jati diri orang batak sesuai Budaya dan Adatnya. Orang Batak dikenal dari Ulos yang disandangnya, sian Tortornya bahkan dari tongkatnya




Bookmark and Share